Dalam Undang-Undang Nomor 14 tahun
2005 tentang Guru dan Dosen pada pasal 1 ayat 1 dikatakan bahwa, guru
adalah pendidik profesional dengan tugas utamanya adalah mendidik,
mengajar, mengarahkan, melatih, menilai dan mengevaluasi perserta didik
pada jalur pendidikan formal, serta pada jenjang pendidikan dasar,
menengah, termasuk pendidikan anak usia dini. Dalam konteks yang lebih
luas keberadaan guru dalam proses mengajar menjadi sesuatu yang vital,
jika kemudian di maknai secara integral oleh para guru. Sebab salah satu
kunci dari keberhasilan dalam proses pembelajaran bukan hanya dilihat
dari aspek keberhasilan seorang siswa (murid) mendapatkan nilai yang
bagus, tetapi yang lebih penting adalah sejauh mana seorang guru
membangun dan menanamkan nilai-nilai akhlak mulia dalam konteks
kehidupan sehari-hari. Sehingga kemudian diharapkan anak-anak didiknya
menjadi anak yang mempunyai karakter, disiplin, mandiri, jujur dan
selalu berusaha meningkatkan kemampuan dirinya.
Melihat diskripsi di atas, maka
kemudian muncullah sebuah pertanyaan, sejauh mana Peran Guru Dalam
Membangun Tradisi Kejujuran Akademik. Pertanyaan itu memang sederhana
tapi cukup menggelitik utamanya bagi guru-guru yang selama ini belum
berperan secara signifikan membangun budaya (tradisi) kejujuran di
sekolahnya (lembaga) di mana ia bekerja sebagai seorang pendidik (guru),
baik dalam konteks membangun kejujuran untuk dirinya sendiri maupun
perannya dalam menanamkan nilai-nilai kejujuran pada anak didiknya dan
juga teman-teman sesama profesi. Ini menjadi sangat urgens ketika
seorang guru belum mampu menunjukkan pribadi yang jujur dalam
kesehariannya, maka akan sulit bagi guru nenanamkan nilai-nilai
kejujuran pada peserta didiknya. Karena segala aktifitas yang dilakukan
guru terutama di sekolah, akan menjadi cerminan (contoh) bagi muridnya,
jika kemudian guru tidak jujur baik ucapan maunpun tindakannya, maka
jangan harap anak didiknya mempunyai sifat-sifat kejujuran utamanya
dalam proses belajar mengajar.
Sesungguhnya peran guru dalam
membangun tradisi (budaya) kejujuran dilingkungan akademiknya sangat
penting dan luas. Di anggap sangat penting karena guru sering
bersentuhan langsung dengan anak-anak didiknya dalam proses
pembelajaran, saat proses itulah peran-peran guru menanamkan tradisi
kejujuran kepada siswa-siswinya. Contoh sederhana peran guru dalam
membangun tradisi kejujuran kepada murid-muridnya, ketika ulangan,
seorang guru harus menyampaikan secara jujur agar tidak menyontek, baik
kepada temannya maupun pada buku catatan, pesan itu disampaikan dengan
bahasa yang sederhana yang bisa ditangkap anak didiknya dan itu harus
dilakukan secara istiqomah dan tidak pernah berhenti menyampaikan
pesan-pesan moral. Sehingga pada akhirnya terwujudlah rumusan tujuan
pendidikan nasional yaitu berkembangnya potensi peserta didik agar
menjadi manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa,
berakhlaq mulia, sehat berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi
warga negara yang demokratis serta bertanggungjawab.
Kemudian keluasan guru dalam
membangun budaya (tradisi) kejujuran dilingkungan akademiknya, bisa
dilihat dengan tugas utama seorang guru yaitu; 1)mendidik, dalam
persfektif ini pentingnya guru mengembangkan keterpaduan kualitas
manusia (anak didiknya) pada semua dimensinya yang merupakan manifestasi
dari iman, ilmu, dan amal; 2)mengajar, dimaknai sebagai suatu proses
yang dilakukan guru dalam membimbing, membantu dan mengarahkan peserta
didik untuk memiliki pengalaman belajar. Posisi ini sangat memungkinkan
bagi guru untuk menanamkan nilai-nilai budi pekerti dengan terus
melakukan pembinaan tingkah laku (behavior) dan akhlak mulia sebagaimana
penjabaran dari sifat shidiq (jujur), pembinaan kecerdasan dan ilmu
pengetahuan yang luas dan mendalam sebagai perwujudan dari sifat
fathonah (kecerdasan), pembinaan sikap mental (mental attitude) yang
mantap dan matang sebagai penjabaran dari sifat amanah (kredible), dan
kemudian pembinaan keterampilan kepemimpinan (leadershif skill) yang
visioner dan bijaksana sebagai bentuk penjabaran dari tabligh.
3)melatih, dalam konteks ini seorang guru mempunyai tanggungjawab yang
luas melatih ketrampilan dan kecakapan kepada peserta didiknya, yang
diwujudkan dengan bentuk konkrit dalam proses kehidupan sehari-hari,
misalnya melatih kedisiplinan, kejujuran, baik perkataan maupun
perbuatan (tindakan) kepada peserta didiknya, dan tentunya adalah
keteladanan (contoh) yang ditunjukkan oleh sikap disiplin dan kejujuran,
artinya sikap dari dirinya sendiri (guru), utamanya disiplin dalam
mengajar, kejujuran dalam perkataan, perbuatan dan tindakan. 4)menilai
dan mengevaluasi, proses ini sangat penting karena menyangkut
kepribadian anak didik, sebab di khawatirkan jika penilaian dan
pengevaluasian di latarbelakangi suka tidak dan tidak suka, maka
penilaian serta evalausi sudah tidak obyektif dan tentu yang dirugikan
adalah peserta didiknya. Sehingga kemudian seorang guru memastikan dalam
proses penilaian harus mengedepankan nilai obyektifitas dan kejujuran,
karena ini menyangkut masa depan anak didiknya. Jika guru sudah tidak
obyektif dan jujur dalam penilaian dan pengevaluasiaan, maka
sesungguhnya guru sudah membunuh karakter anak bangsa dan merusak
tatanan pendidikan baik langsung maupun tidak langsung.
Kemudian keluasan berikutnya
adalah peran guru dalam membangun tradisi kejujuran dengan teman
seprofesi (teman sejawat), harus di akui secara jujur tidak semua guru
peduli terhadap nilai-nilai kejujuran, sehingga sangat penting
memberikan wawasan akan pentingnya kejujuran dalam kehidupan sehari,
baik jujur dalam perkataan, perbuatan maupun tindakan (aksi). Sungguh
sangat ironis jika anak didiknya diajarkan kejujuran, sementara gurunya
sendiri tidak memberikan teladan yang baik, bahkan merusak tradisi
(budaya) yang sudah mengakar kepada peserta didikanya demi kepentingan
pribadi, kepala sekolah yang kemudian anak didik dan lembaganya
dikorbankan. Anak didik akan semakin baik, cerdas, berkarakter, guru
semakin termotivasi untuk mengajar dengan disiplin, lembaga akan
terhormat dan bermartabat secara akademik di akui eksistensinya, kalau
dalam lembaga tersebut secara inhern menanamkan budaya (tradisi)
kejujuran dalam semua aspek, jadi tidak perlu ada kekhawatiran anak
didik pada endingnya tidak berhasil dalam menempuh ujian akhir.
Dari diskripsi yang sederhana di
atas, maka sesungguhnya peran guru dalam membangun tradisi kejujuran
akademik ada tiga aspek, pertama; membangun kejujuran harus dimulai
dari dirinya sendiri sebagai seorang guru, yakni antara perkataan,
perbuatan dan tindakan harus sesuai dengan norma-norama yang berlaku.
Kedua; sebagai seorang guru, yang tugas utamanya adalah mendidik,
melatih, mengarahkan, menilai dan mengevaluasi kepada peserta didiknya,
maka guru mempunyai kewajiban untuk membentuk karakter anak didiknya
memiliki sikap disiplin, jujur, mandiri, demokratis dan bertangungjawab.
Ketiga; guru secara akademik juga mempunyai tanggunjawab untuk
membesarkan lembaga (sekolah), maka dalam konteks ini guru harus mampu
membangun dan memberi keteladan kepada teman seprofesinya untuk terus
menerus menanamkan nilai-nilai kejujuran baik untuk dirinya (teman
seprofesi), maupun peserta didiknya melalui mata pelajaran yang di ampu.
Dengan demikian bangunan akademik yang mengedepankan nilai-nilai
kejujuran akan menjadi sebuah kebanggaan tersendiri, peserta didik
bangga kepada lembaga (sekolah) dan tenaga pendidiknya, guru bangga
kepada peserta didik dan lembaganya, kepala sekolah bangga dengan anak
didik, guru (pendidik), lembaga (sekolah) yang di nakodainya dan semua
bangga dengan satu motto “KEJUJURAN”.
sumber: cakslamet.blogspot.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar